Skip to main content

Klasifikasi Trauma Gigi

 Classification of Dental Trauma

Pada tahun 1950, dokter gigi anak G.E. Ellis adalah orang pertama yang memperkenalkan klasifikasi universal cedera pada gigi. Cedera pada gigi diklasifikasikan menurut berbagai faktor, seperti anatomi gigi, patologi atau pertimbangan terapeutik. Cedera pada struktur pendukung seperti jaringan lunak dan tulang lebih sering terjadi pada gigi permanen daripada gigi sulung, karena gigi sulung lebih sering mengalami cedera pada jaringan periodonsium.

Klasifikasi dental trauma terus berkembang, hingga kini terdapat beberapa macam klasifikasi trauma dentoalveolar, seperti :

(1) Klasifikasi trauma gigi anterior menurut Sweet (1955), 

(2) Klasifikasi menurut Rabinowitch (1956), 

(3) Klasifikasi Benetts (1963), 

(4) Klasifikasi menurut Ulfohn (1969), 

(5) Klasifikasi menurut Ellis (1970), 

(6) Klasifikasi menurut Ellis dan Davey (1970), 

(7) Klasifikasi menurut Hargreaves dan Craig (1970), 

(8) Application of international classification of diseases to dentistry and stomatology (WHO, 1978), 

(9) Klasifikasi menurut Garcia - Godoy (1981), 

(10) Klasifikasi menurut Andreasen (1981), 

(11) Klasifikasi menurut Basrani (1982), 

(12) Klasifikasi menurut Galea (1984), 

(13) Klasifikasi menurut Burton (1985), 

(14) Klasifikasi menurut Stockwell (1988), 

(15) Klasifikasi menurut Lee- Knight (1989), 

(16) Klasifikasi menurut Hunter (1990), 

(17) Klasifikasi menurut Bijella (1990), 

(18) Klasifikasi menurut Forsberg dan Tedestam (1990), 

(19) Klasifikasi menurut Perez (1991), 

(20) Klasifikasi menurut Zerman dan Cavellari (1993), 

(21) Classification by World Health Organization in its application of International Diseases of Dentistry and Stomatology (1994), 

(22) Klasifikasi menurut Burden (1995), 

(23) Klasifikasi trauma gigi pada gigi sulung menurut Fried dan Erickson (1995), 

(24) Klasifikasi menurut Hamilton (1997), 

(25) Klasifikasi menurut Spinas (2002), 

(26) Klasifikasi menurut McDonald (2004).

Beberapa klasifikasi trauma dental injury yang sering digunakan saat ini berdasarkan:

1.     Klasifikasi menurut Ellis (1970)

Kelas I  : Fraktur mahkota sederhana dengan sedikit atau tidak melibatkan dentin.

Kelas II : Fraktur mahkota yang luas dengan kehilangan dentin yang cukup banyak, tetapi tidak melibatkan pulpa terbuka.

Kelas III : Fraktur mahkota yang luas dengan kehilangan dentin dan menyebabkan pulpa terbuka.

Kelas IV : Trauma yang menyebabkan gigi non-vital, dengan atau tanpa kehilangan struktur gigi.

Kelas V : Trauma yang menyebabkan gigi tanggal (avulsi).

Kelas VI : Fraktur pada akar gigi dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota gigi.

Kelas VII : Pergeseran gigi tanpa fraktur mahkota dan akar.

Kelas VIII : : Fraktur mahkota seluruhnya.

Kelas IX : Trauma pada gigi sulung.

 

2.     Klasifikasi menurut Ellis dan Davey (1970)

Kelas 1 : Fraktur sederhana pada mahkota gigi dengan sedikit atau tidak melibatkan dentin.

Kelas 2 : Fraktur mahkota yang luas, melibatkan banyak dentin tetapi tidak melibatkan pulpa.

Kelas 3: Fraktur mahkota yang luas dengan kehilangan dentin  dan menyebabkan pulpa terbuka.

Kelas 4 : Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi non-vital, dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota gigi.

Kelas 5 : Trauma yang menyebabkan gigi tanggal (avulsi).

Kelas 6 : Fraktur pada akar gigi, baik dengan atau tanpa kehilangan struktur

mahkota gigi.

Kelas 7 : Pergeseran gigi tanpa fraktur mahkota dan akar.

Kelas 8 : Fraktur mahkota seluruhnya.

 

3.      Application of international classification of diseases to dentistry and stomatology (WHO, 1978)

Klasifikasi

Deskripsi

Jaringan yang terlibat

S.O.25

Fraktur gigi (gigi sulung dan gigi permanen

 

S.02.50

Fraktur pada enamel gigi + infraksi enamel

Enamel

S.02.51

Fraktur mahkota tanpa keterlibatan pulpa

Enamel, Dentin

S.02.52

Fraktur mahkota dengan keterlibatan pulpa

Enamel, Dentin, Pulpa 

S.02.53

Fraktur akar gigi

Sementum, Dentin, Pulpa

S.02.54

Fraktur mahkota dan akar, baik dengan atau tanpa keterlibatan pulpa

Enamel. Sementum, Dentin + Pulpa

S.02.57

Fraktur gigi multiple

 

 

4.      Classification by World Health Organization in its application of International Diseases of Dentistry and Stomatology (1994)

a.      Trauma pada jaringan gigi keras dan pulpa

1)     Infraksi enamel (N 502.50) dengan incomplete fraktur, keadaan dimana terdapat keretakan pada enamel tanpa kehilangan struktur gigi.

2)     Fraktur enamel (uncomplicated fraktur mahkota) (N 502,50), keadaan dimana terjadi dengan kehilangan struktur gigi yang terbatas pada email.

3)     Fraktur Enamel-Dentin (uncomplicated fraktur mahkota) (N 502.51), keadaan dimana terjadi kehilangan struktur gigi yang terbatas pada email dan dentin, tetapi tidak melibatkan pulpa.

4)     Fraktur mahkota complicated (N 502.52), kondisi fraktur yang melibatkan email dan dentin, dan pulpa terbuka.

5)     Fraktur Akar Mahkota uncomplicated (N 502.54), kondisi fraktur melibatkan email, dentin dan sementum, tetapi tidak melibatkan pulpa.

6)     Fraktur mahkota-akar complicated (N 502.54), kondisi fraktur melibatkan email, dentin dan sementum, dan pulpa terbuka.

7)     Fraktur Akar (N 502.53), kondisi fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa.

 

b.     Trauma pada jaringan periodontal

1)   Konkusi (N 503.20) Cedera pada struktur pendukung gigi dengan kehilangan abnormal atau pergeseran gigi, tetapi responsive terhadap tes perkusi.

2)   Subluksasi (N 503.20) Cedera pada struktur pendukung gigi dengan pelonggaran abnormal, tetapi tanpa pergeseran gigi.

3)   Luxation Ekstrusif (Dislokasi periperal, avulsi parsial) (N 503.20) pergeseran sebagian gigi keluar dari soketnya.

4)   Luxation Lateral (N 503.20) pergeseran gigi keluar dari porosnya, hal ini ditandai dengan adanya benturan atau trauma pada soket.

5)      Luxation Intrusif (Dislokasi sentral) (N 503.21) pergeseran gigi ke dalam tulang alveolar. 

6)  Avulsi (N 503.22) pergeseran atau perpindahan yang sempurna, dimana gigi keluar dari soketnya.

 

c.      Trauma pada jaringan pendukung

1)   Communution of the mandibular (N 502.60) atau maxillary (N 502.40) alveolar socket adalah cedera yang menyebabkan kerusakan dan menekan soket alveolar pada rahang bawah dan rahang atas. 

2) Fraktur dinding soket mandibula (N 502.60) atau maksila (N 502.40), kondisi fraktur yang terbatas pada dinding soket facial atau lingual dari dinding soket yang terdapat pada rahang bawah atau rahang atas.

3)   Fraktur prosesus alveolar mandibula (N 502.60) atau maksila (N 502.40), kondisi fraktur yang mengenai processus alveolar, dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi pada rahang bawah atau rahang atas.

4) Fraktur yang melibatkan mandibula atau maksila dan seringkali melibatkan processus alveolar,  serta fraktur ini mungkin dapat melibatkan atau tidak melibatkan soket alveolar.

 

d.     Trauma pada gingiva atau mukosa mulut

1)  Laserasi pada gingiva atau mukosa mulut (S 01.50) adalah luka terbuka yang menyebabkan adanya robekan pada jaringan epitel dan subepitel akibat benda tajam. 

2)   Kontusio pada gingiva atau mukosa mulut (S 00.50) adalah luka memar yang disebabkan oleh benturan benda tumpul dan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa.

3)   Abrasi mukosa mulut atau gingiva (S 00.50) adalah luka superfisial yang disebabkan karena gesekan atau goresan suatu benda hingga menyebabkan mukosa berdarah.

 

Comments

Popular posts from this blog

Diagnosis Pulpa dan Periapikal

     Prosedur yang diperlukan untuk membuat diagnosis endodontik, yaitu dengan melakukan pemeriksaan subyektif, seperti mencari informasi melalui beberapa pertanyaan seputar (1) Riwayat medis/gigi, (2) Riwayat dental treatment, (3) Riwayat alergi/obat-obatan, (4) Keluhan utama (jika ada), Riwayat keluhan utama dilakukan dengan memberi pertanyaan mengenai onset, location, duration, characteristic, aggressor, relief, dan treatment pada keluhan yang dirasakan. Prosedur selanjutnya melakukan pemeriksaan obyektif (klinis), pemeriksaan klinis dilakukan pada bagian ekstraoral terlebih dahulu, seperti mengevaluasi dan memeriksa kesimetrisan wajah, ada atau tidaknya pembengkakan pada kelenjar betah bening, dan disfungsi sendi temporomandibular , kemudian melakukan pemeriksaan pada bagian intraoral untuk melihat kondisi jaringan lunak, ada atau tidaknya saluran sinus, kondisi periodontal, karies dan melihat ada atau tidaknya restorasi yang telah rusak. Pemeriksaan klinis dapat dib...

Penatalaksanaan Insisi dan Drainase Intraoral

Anamnesis lengkap dan pemeriksaan klinis menyeluruh sangat penting dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis dan menentukan rencana perawatan yang akan dilakukan. Anamnesis yang dilakukan meliputi mencari informasi terkait: Identitas Pasien Keluhan utama pasien Riwayat keluhan utama dan keluhan tambahan Riwayat kesehatan umum Riwayat kesehatan gigi/pengobatan Selanjutnya melakukan pemeriksaan umum, seperti melakukan pengukuran: Tekanan darah (Normal 120/80 mmHg) Denyut nadi (Normal 80-100x/menit) Frekuensi Pernapasan (Normal 12-20x/menit) Suhu tubuh (36 - 37,5°C) Kemudian melakukan pemeriksaan klinis, meliputi: Pemeriksaan ekstraoral Kesimetrisan wajah Pembengkakan pada daerah wajah, leher dan limfadenopati Disfungsi TMJ Pemeriksaan intraoral Oral hygiene Pemeriksaan sendi Kondisi mukosa alveolar, labial, bukal Ada/tidaknya pembengkakan Kondisi Gingiva Kondisi gigi dan jaringan periodontal Palatum keras dan palatum lunak Lidah  Dasar Mulut Setelah melakukan anamnesis, pemeriksa...